Filosof Immanuel Kant pernah menyindir, ada dua watak binatang terselip di setiap insan politik. Kedua watak itu seperti sekeping mata uang dengan dua sisi. Sisi yang satu adalah watak merpati, sisi yang lainnya watak ular. Politisi berwatak merpati digambarkan Immanuel Kant sebagai politisi lembut dan penuh kemuliaan dalam memperjuangkan idealisme. Sedang politisi berwatak ular adalah politisi yang berprilaku seperti ular, licik dan jahat, serta selalu berupaya memangsa merpati.
Etika politik, kata Immanuel Kant, bertumpu pada dua watak ini. Watak mana yang paling menonjol? Menurut Immanuel Kant, di sinilah letak celakanya, sebab, yang lebih menonjol adalah politisi berwatak ular, atau politisi yang licik dan jahat, yang terus memangsa merpati.
Sastrawan Inggris George Orwell mengarang fabel yang diterjemahkan almarhum Mahbub Djunaidi berjudul “Binatangisme”. Mungkin karena terpesona pada George Orwell, Mahbub lalu menulis satu kolom di media massa berjudul “Politik Kebun Binatang”. Melalui tulisan itu, Mahbud menyidir tingkah laku politisi yang ada pada masa itu. Dalam tulisan itu, dia mengatakan, politisi kita bukan binatang, walaupun ada istilah homo hopini lupus (manusia adalah srigala bagi manusia lainnya).
Dengan sindirin itu, Mahbub tengah melakukan penyadaran agar politisi lebih mengedepankan watak merpati. “Politisi kita diharapkan lebih berwatak hanif, cinta dan konsisten pada kebenaran, bukan melakukan pembenaran,” tulis Mahbub, yang juga tokoh pers mahasiswa pada zamannya.
Orde Baru runtuh, kaum reformis tampil ke depan. Pada awalnya, kaum reformis, atau orang-orang yang berada di luar sistem, yang berada di luar gerbong Orde Baru, masih satu jiwa, bahu-membahu menekuk opolitisi ular. Tak tanggung-tanggung, Akbar Tandjung ketika itu mengubah Golkar menjadi Golkar ‘baru’, diplesetkan oleh kaum reformis dengan sebutan Golkar ‘bau’.
Pada Pemilu 1999, Golkar yang waktu itu diasosiasikan berwatak ular, kalah oleh partai reformis yang diasosiasikan berwatak merpati. Abdurachman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden. Tetapi tidak lama, dia jatuh sebelum periodenya habis. Sejak itu watak merpati politisi reformasi mengalami perkembangan dahsyat. Sejumlah analisis mengemukakan, jatuhnya Gus Dur adalah berkat konspirasi antara politisi berwatak merpati dengan politisi yang semula diklaim sebagai politisi berwatak ular. Politisi berwatak merpati tercemar. Belakangan, tak lagi jelas mana politisi ular dan mana politisi merpati.
Pola-pola koalisi yang sangat variatif yang terjadi di berbagai pemilukada menjadi salah satu bukti nyata. Bukti lain adanya munculnya apa yang disebut pengalihan isu. Akibatnya, batas-batas ular dan merpati tergerus. Semuanya berubah menjadi abu-abu. Maka status uang meningkat menjadi variable utama kemenangan dalam pemilukada. Oposisi yang masih menyimpan watak merpati, tak mau ketinggalan, dan menghalalkan segala cara menurunkan incumbent.
Istilahnya rawe-rawe rantas, malang-malang tuntas. Urusan rakyat belakangan, terpenting kekuasaan harus berada dalam genggaman. Yang banyak dilakukan kemudian adalah menjadikan semua isu negatif incumbent dan kandidat favorit, sebagai variable penting politik.
Datanglah Jokowi-Ahok. Dua insan dari desa ini membawa kesederhanaan, memuliakan rakyat, keduanya tak berfikir negatif dan nyaris tak pernah menyinggung isu negatif lawan tanding. Keduanya tak berniat menarik ke bawah kandidat favorit yang berada di ketinggian, demi membuat dirinya yang rendah menjadi kelihatan lebih tinggi. Keduanya merasa yakin dengan hanya mengandalkan sikap, mengandalkan watak merpati. Dengan sikap memuliakan rakyat itu pula, keduanya percaya diri memilih berkoalisi dengan rakyat, bukan dengan partai politik di putaran kedua. Hasilnya, keduanya keluar sebagai pemenang. Pertarungan dua watak dimenangkan watak merpati. Kini hampir dua bulan usia kekuasaan Jokowi-Ahok. Kebijakan-kebijakannya tetap memuliakan rakyat. Perpektif politik berubah, garis ular dan merpati kini kembali kian jelas.
Sumber: www.pakuanraya.com - edisi ke 1759 - Rabu, 12 Desember 2012
0 komentar:
Posting Komentar